
TOPIK BERITA – Setiap bulan Ramadan, istilah “ngabuburit” menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia. Tradisi yang awalnya berasal dari bahasa Sunda ini telah berkembang menjadi fenomena budaya yang populer di berbagai daerah. Tidak hanya di tanah Sunda, berbagai daerah lain di Indonesia memiliki istilah sendiri untuk kegiatan menunggu waktu berbuka puasa, seperti “malengah puaso” di Minangkabau, “basambang” di Banjar, dan “nyarè malem” atau “nyarè bhuka’an” di Madura.
Asal Usul Istilah Ngabuburit
Berdasarkan Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), kata “ngabuburit” merupakan lakuran dari “ngalantung ngadagoan burit”, yang berarti bersantai sambil menunggu waktu sore. Kata dasarnya, “burit”, dalam bahasa Sunda berarti waktu sore, yaitu menjelang matahari terbenam atau menjelang azan magrib.
Namun, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa “ngabuburit” berasal dari kata “burit” saja yang mendapatkan imbuhan serta pengulangan suku kata pertama, mengikuti pola morfologi dalam bahasa Sunda, seperti “ngabeubeurang” (menunggu siang hari) dan “ngadeudeukeut” (mendekati).
Ngabuburit di Berbagai Daerah
Meski berasal dari budaya Sunda, istilah ngabuburit kini telah diadopsi secara luas oleh masyarakat Indonesia. Di Sumatra Barat, dikenal istilah “malengah puaso”, yang berarti mengalihkan perhatian dari rasa lapar dan haus dengan beraktivitas. Di Kalimantan Selatan, masyarakat menyebutnya “basambang”, yaitu jalan-jalan sore menjelang berbuka. Sementara itu, masyarakat Madura memiliki istilah “nyarè malem” atau “nyarè bhuka’an”, yang bermakna mencari malam atau berburu makanan berbuka puasa.
Ngabuburit Menjadi Tren Budaya Populer
Seiring perkembangan zaman, ngabuburit tidak hanya menjadi kebiasaan individu atau keluarga, tetapi juga berkembang menjadi tren yang semakin populer. Mulai dari acara televisi hingga konser musik, ngabuburit menjadi bagian dari gaya hidup selama Ramadan.
Pada tahun 2012, TransTV menayangkan program “Ngabuburit” yang menggabungkan hiburan dan ceramah keagamaan. Konsep serupa kemudian kembali hadir dalam program “Ngabuburit Happy” pada 2018. Di dunia musik, berbagai konser bertajuk “Ngabuburit” digelar selama Ramadan, seperti “Ngabuburit Bersama Slank”, “Konser Ngabuburit bersama Iwan Fals”, hingga “Ngabuburit Concert with So7”.
Industri film pun turut mengangkat fenomena ini. Pada 2016, film pendek berjudul “Ngabuburit (Waiting for Iftar)” diputar dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival ke-14. Film ini menggambarkan interaksi sepasang suami istri yang menantikan waktu berbuka sembari berdiskusi tentang rencana mudik Lebaran.
Dari Tradisi ke Gaya Hidup
Ngabuburit telah bertransformasi dari sekadar kebiasaan lokal menjadi fenomena nasional yang melekat dalam budaya Ramadan di Indonesia. Dari jalan-jalan sore, berburu takjil, hingga menikmati hiburan, ngabuburit menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Dengan berbagai aktivitas menarik yang bisa dilakukan, tradisi ini terus berkembang dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Ramadan di Indonesia. @Redaksi