
Oleh : Budi Muhammad Darmawan
Meskipun secara formal hanya berupa himbauan, keberadaan lembaga wakaf yang dibentuk secara sepihak oleh kepala daerah menimbulkan kesan pemaksaan politik bagi ASN untuk berpartisipasi.
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang memiliki nilai sosial tinggi. Dalam hukum Islam, wakaf harus dikelola dengan baik agar manfaatnya dapat dirasakan oleh umat. Namun, muncul berbagai kontroversi ketika kepala daerah membentuk lembaga wakaf di luar struktur resmi pemerintahan. Kendati alasannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD), kebijakan ini menuai beragam tanggapan.
Program wakaf yang diinisiasi oleh kepala daerah tidak hanya menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan, tetapi juga menciptakan keresahan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Meskipun secara formal hanya berupa himbauan, keberadaan lembaga wakaf yang dibentuk secara sepihak oleh kepala daerah menimbulkan kesan pemaksaan politik bagi ASN untuk berpartisipasi. Bahkan, hasil pengumpulan dana wakaf dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dipublikasikan secara terbuka. Walaupun dalih transparansi digunakan, banyak yang mengkhawatirkan hal ini justru menjadi alat tekanan politik bagi ASN juga berdampak psykologis dalam kaitannya dengan karir dan jabatan mereka di lingkungan pemerintahan daerah.
Di sisi lain, pemotongan gaji ASN untuk zakat mal yang disetorkan ke Badan Zakat Nasional Daerah sudah menjadi kebijakan tetap. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pengumpulan dana wakaf tambahan di luar struktur pemerintahan justru membebani ASN. Perdebatan utama dalam berbagai diskusi bukan hanya soal tujuan wakaf, melainkan kelembagaan yang terpisah dari struktur pemerintahan daerah. Hingga kini, belum ada dasar hukum yang jelas, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan oleh DPRD maupun Surat Keputusan kepala daerah. Meskipun demikian, kebijakan ini tetap berjalan dan berhasil mengumpulkan dana hingga ratusan juta rupiah, yang menimbulkan pertanyaan besar: Apakah setelah masa jabatan kepala daerah berakhir, dana wakaf ini akan menjadi milik daerah dan menjadi sumber penerimaan sah?
Dasar Hukum Wakaf
Dalam Islam, dasar hukum wakaf terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, serta diperkuat oleh regulasi negara yang mengatur pengelolaannya. Di Indonesia, wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-undang ini menegaskan bahwa pengelolaan wakaf harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki izin resmi, seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI), dengan nadzir yang bertanggung jawab dalam mengelola dan menyalurkan hasil wakaf sesuai dengan prinsip syariah.
Kontroversi Lembaga Wakaf yang Dibentuk oleh Kepala Daerah
Ketika seorang kepala daerah membentuk lembaga wakaf di luar struktur pemerintahan, berbagai persoalan muncul:
- Legalitas dan Transparansi
- Apakah lembaga yang dibentuk memiliki izin resmi sesuai dengan regulasi yang berlaku?
- Bagaimana mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban dana wakaf tersebut?
- Pemaksaan terhadap ASN
- Jika ASN diwajibkan menyumbang ke dalam lembaga wakaf yang dikelola oleh kepala daerah, apakah hal tersebut sesuai dengan prinsip keadilan dan sukarela?
- ASN sudah memiliki kewajiban membayar zakat profesi sebesar 2,5% dari gaji mereka, sehingga kebijakan ini menambah beban finansial mereka.
- Penggunaan Dana Wakaf sebagai Dana Bergulir
- Secara syariah, dana wakaf umumnya bersifat abadi, di mana hanya hasil pengelolaannya yang boleh dimanfaatkan. Jika dijadikan dana bergulir, bagaimana aspek kepatuhannya terhadap prinsip wakaf?
Manfaat dan Mudarat Kebijakan
Manfaat
- Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam wakaf.
- Dana yang terkumpul dapat digunakan untuk kepentingan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat.
- Mempercepat pembangunan daerah melalui sumber dana sosial yang lebih fleksibel.
Mudarat
- Berpotensi menjadi instrumen politik yang menekan ASN dan masyarakat.
- Jika dikelola tanpa transparansi, berisiko disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
- Menimbulkan ketidakadilan bagi ASN yang merasa terpaksa menyumbang, meskipun mereka sudah membayar zakat mal.
- Jika dana wakaf digunakan sebagai dana bergulir tanpa pengawasan yang jelas, dapat menyimpang dari prinsip wakaf yang seharusnya abadi.
Kesimpulan
Pengelolaan dana wakaf harus dilakukan dengan prinsip transparansi, keikhlasan, dan sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dalam hukum Islam maupun regulasi negara. Jika kepala daerah ingin membentuk lembaga wakaf, maka harus dipastikan bahwa lembaga tersebut memiliki izin resmi dan pengelolaan dana dilakukan secara akuntabel. Selain itu, keterlibatan ASN harus bersifat sukarela, bukan berdasarkan paksaan kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan resistensi politik.
Wakaf adalah amal jariyah yang luhur, dan seharusnya tidak dijadikan alat politik atau beban tambahan bagi ASN. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas agar dana wakaf yang dikumpulkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas.